Tafsir-tafsir Kesabaran
“Ketahuilah bahwa sabar, jika dipandang dalam permasalahan seseorang adalah ibarat kepala dari suatu tubuh. Jika kepalanya hilang maka keseluruhan tubuh itu akan membusuk. Sama haknya, jika kesabaran hilang, maka seluruh permasalahan akan rusak” (Ali bin Abi Thalib).
Sungguh, perintah sabar adalah perintah akhlak yang berpuluh kali penyebutannya dalam Al-Qur’an. Ada yang mengatakan kurang dari seratus, juga ada yang menyebutkannya lebih dari seratus. Siapa pun yang benar di antara keduannya, jelas sudah keutamaan sifat ini. Sejelas matahari di siang hari, bintang di malam hari. Sabar memiliki keistimewaan sebesar itu ; sangat banyak kemuliaan yang beserta dirinya, sehingga Allah menempatkan para pelakunya di derajat yang tinggi.
Namun, sangat sulit untuk bersabar di zaman yang menguras kesabaran. Belum lagi karena kita hidup di lingkungan yang kadung mengadopsi petuah, yang sekilas bijak, tapi kadang membenarkan kita untuk meluapkan kemarahan, kekesalan, dan keterburu-buruan: sabar itu ada batasnya. Setiap kali habis daya tahan kita, “kata-kata mutiara” itu sontak muncul dalam kepala, menenggelamkan “kata-kata mutiara” lainnya: benarkah sabar itu ada batasnya?
Mungkin dalam konteks lain, kesabaran memang ada batasnya. Ketika Rasulullah telah wafat, dan Abu bakar didaulat untuk maju sebagai Khalifah, ada sekelompok orang yang menolak membayar zakat. Abu bakar memutuskan mereka harus diperangi. Meski Umar berpendapat sebaliknya, Abu Bakar tetap teguh dalam pendiriannya. Mengimani satu perintah dalam al-Qur’an namun mengingkari perintah yang lain adalah benih-benih kemunafikan. Itu harus diberantas. Umar pun mengerti bahwa Allah telah menganugerahkan jalan yang terang pada jalan berpikir Abu Bakar. Bahwa “bersabar” bukanlah jalan terbaik saat itu. Wallahu a’alam.
Tapi, “sekecil” itukah konteks kesabaran? Jangan-jangan, apa yang Abu Bakar lakukan adalah bentuk kesabaran pula. Namun, bagaimana mungkin memerangi para pembangkang zakat adalah bentuk kesabaran?
Mungkin juga tidak. Dalam bukunya, Ash-Shabru fi al-Qur’an, Dr. Yusuf Qaradhawi menuliskan bahwa sabar, dalam al-Qur’an, itu banyak sekali bentuknya. Sangat berbeda dengan pemahaman di negeri kita, bersabar tidak harus selalu berarti menahan amarah atau tidak membalas sewaktu disiksa orang lain. Kesabaran punya makna yang lebih luas dan dalam.
Apakah saja formasi-formasi kesabaran itu?
Pertama, bersabar dalam cobaan dunia. Dalam hal ini, tidak ada satu pun dari kita yang luput daripadanya. Cobaan dunia meliputi segala sesuatu yang biasa terjadi pada manusia; sakit, kehilangan orang yang dicintai, nafsu seksual, kerugian harta benda, gangguan orang lain, kepedihan dalam hidup, atau peristiwa-peristiwa alam yang sering datang tiba-tiba. Contoh-contoh sabar dalam hal ini adalah kisah Nabi Ayyub, Nabi Ya’qub, dan Nabi Yusuf. Kehidupan mereka dipenuhi kesabaran yang meliputi ujian-ujian besar yang bisa menimpa manusia. Kehilangan harta, anak, istri, bahkan didera penyakit bertahun-tahun harus dialami Nabi Ayyub. Kesedihan yang mendalam kehilangan dua anaknya hingga buta mata Nabi Ya’qub. Keterasingan dari keluarga, godaan wanita, hingga fitnah memnjarakan Nabi Yusuf. Semuanya dilalui dengan sabar. Semua jadi teladan keabadian. Jiwa-jiwa mereka terang, diliputi cahaya iman.
Ada pula kesabaran dalam hal kesenangan. Ya, kadang kesenangan justru jadi ujian yang menipu. Banyak yang gagal. Banyak yang tergelincir dan akhirnya menelan kenyataan jadi ahli neraka. Seperti Qarun dan gembok-gembok emasnya. Yang mengaku mendapatkan semua atas hasil jerih payah dan enggan menginfakkannya. Akhirnya, bumi mengunyahnya hingga tak tersisa.
Allah berfirman, “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu; dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, (kehilangan) jiwa dan (kerugian dalam) buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa suatu musibah, mereka mengucapkan ‘Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali.’ Mereka itulah yang mendapatkan berkah yang sempurna (salawat) dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. al-Baqarah [2]:155-157).
Bentuk kesabaran kedua adalah kesabaran dalam menaati perintah atau syariat Allah. Kesabaran ini lebih sulit dari jenis sabar sebelumnya. Hal ini terungkap lewat firman-Nya.
“Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadah kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?” (Q.S. Maryam [19]:65).
Dr.Yusuf Qaradhawi berpendapat penggunaan kata “ishthabir” dalam ayat tersebut adalah untuk menunjukkan arti “sangat” dalam melakukan sebuah perbuatan. Ini disebabkan karena mematuhi semua perintah Allah merupakan tugas yang tidak ringan bagi manusia. Lebih jauh, mengutip perkataan Imam Ghazali dalam Ihya-nya, kesabaran taat pada syariat Allah cenderung amat berat bagi manusia disebabkan jiwa manusia punya “tabiat” menghindari penghambat dan, sebaliknya, menginginkan ketuhanan. Bahwa ada potensi jadi Fir’aun dalam diri kita. Bahwa kadang kita benar-benar merasa segalanya, jadi tuhan, ingin berkuasa.
Kesabaran bentuk kedua ini selalu bertarung dengan keburukan dalam diri. Perintah shalat harus berhadap-hadapan dengan kemalasan. Perintah zakat harus berperang melawan kebakhilan. Perintah haji dan jihad versus malas dan kebakhilan.
Kesabaran yang berikutnya adalah kesabaran atas beban dakwah. Jika dua kesabaran sebelumnya menuntut daya tahan pribadi, kesabaran berikut jauh lebih berat karena ia harus berhadapan dengan jiwa orang lain. Sudah jadi “tradisi” bahwa seruan kebenaran akan tidak dianggap dan dilecehkan. Pembawanya akan dihina, dizalimi, dinodai kehormatannya, bahkan sampai dikejar-kejar untuk dibunuh. Karenanya, pahala yang menanti para pelaku kesabaran jenis ini jauh lebih besar ketimbang sebelumnya. Bahwa kita tahu betapa Allah mengistimewakan Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad dengan julukan ulul azmi. Ujian yang menimpa mereka terlalu sangat dekat dengan selaka itu sendiri. Para rasul sering terjebak, terdesak, dan hampir kalah sebelum Allah turun tangan langsung menolong mereka. Itulah yang dialami dan dicatat sebagai amal baik mereka, berbuah surga yang tak ada lelah dan letih di dalamnya.
“Sehingga apabila para rasul tidak mempunyai harapan lagi (tentang keimanan mereka) dan telah meyakini bahwa mereka telah didustakan, datanglah kepada para rasul itu pertolongan Kami, lalu diselamatkan orang-orang yang Kami kehendaki. Dan tidak dapat ditolak siksa Kami daripada orang-orang yang berdosa.”(Q.S. Yusuf [12]:110).
Kesabaran keempat adalah sabar dalam medan pertempuran. Sudah kita maklumi bersama: jihad adalah amalan tertinggi dalam islam. Tidak ada satupun amal yang mampu menyamainya. Keutamaannya terlalu agung sehingga setiap pelakunya yang ikhlas dipastikan masuk surga. Tidak ada yang aneh dengan persamaan ini bagi kita. Tentu saja: jihad berarti berkorban apa yang paling manusia biasanya tak ingin korbankan, yakni “kehidupan”. Bahwa jihad berarti mempersembahkan nyawa untuk Allah semata.
Allah berfirman dalam sebuah hadis qudsi, “Kedua kaki hamba-Ku yang dilibat debu dalam perang fi sabilillah tidak akan tersentuh api neraka.”(HR. Bukhari).
“Tidaklah sama antara, mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahal yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang-orang yang duduk dengan pahala yang besar, (yaitu) beberapa derajat daripada-Nya, ampunan serta rahmat. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. an-Nisa [4]:95-96).
Orang yang bersabar dalam pertempurang Allah sebut sebagai orang yang benar imanya dan pantas disebut orang yang bertakwa. Bagaimana tidak? Pertempuran sering memaksa kita mencari keselamatan pribadi. Kita menjadi egois, kerdil, takut meninggal, dan sebagainya. Dan semua itu memang manusiawi. Di sanalah ujian sesunggunya; melawan kemanusiawian. Telah dikatakan bahwa kita bukan malaikat dan bukan pula binatang; namun selalu terdapat kesempatan untuk lebih baik dari yang pertama atau lebih buruk dari yang kedua dalam fase-fase kehidupan kita. Perang adalah salah satunya.
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar. Sesungguhnya kamu mengharapkan mati (syahid) sebelum kamu menghadapinya; (sekarang) sungguh kamu telah melihatnya dan kamu menyaksikannya. Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikitpun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (Q.S. Ali Imran [3]: 142-144).
Itulah kesabaran. Banyak sekali dimensinya yang perlu kita pahami. Jangan lari. Buka mata kita dan baca baik-baik. Itu demi kebaikan kita sendiri, bukan orang lain.
“Sesungguhnya orang-orang yang bersabar akan dibalas dengan pahala yang tanpa batas.” (Q.S. az-Zumar [39]:10).
Sumber: Buku “Jiwa-jiwa Gagah Yang Pantang Menyerah.”
Ditulis dalam Tips Bersabar. Kaitkata: http://wwwcharme54.blogspot.com/
No comments:
Post a Comment